CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 24 November 2008

TUGAS KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA UPACARA KEMATIAN BUDAYA TIONGHOA

Di dalam masa perkabungan orang – orang Tionghoa melaksanakan persembahyangan, sebagai tanda bukti untuk menunjukkan rasa bakti kepada orang yang meninggal dunia.
Pada umumnya dari keluarga yang meningal dunia, seperti istri, anak, menantu, dan cucu memakai pakaian putih – putih yang biasa disebut Tuaha (pakaian perkabung). Tuaha ini dibuat dari kain bekas karung terigu.
Ketentuan:
• Anak laki – laki pada umumnya memakai tuaha selama tiga tahun (tiga shio) atau 27 bulan dan ada yang memakai 21 bulan.
Cara menghitungnya sebagai berikut; bila 27 bulan, dihitung sebagai unjuj rasa atau balas budi terhadap orang tua, yang selama 9 bulan 10 hari di dalam kandungan dan satu tahun setengah dalam asuhan/menyusui. Jadi 9 + 18 = 27 bulan.
• menantu perempuan, memakai tuaha sama dengan anak laki-laki dari orang yang meninggal dunia. Maksudnya sebagai pendampin suami yang setia, yang turut simpati atas rasa dukkha cita sang suami.
• Istri dari almarhum, memakai tuaha sama dengan anak laki – laki, yang maksudnya menunjukkan rasa cinta yang sangat mendalam, karena ditinggal dengan orang yang paling dicintai.
• Anak perempuan dan menantu laki- laki boleh memakai tuaha selama satu tahun.
• Cucu dalam boleh memakai tuaha selama tiga tahun atau satu tahun.
• Saudara boleh memaki biru selama 7 hari atau 100 hari.
• Cucu luar boleh memakai tuaha atau biru selama 1 tahun/100 hari/7 hari.
Dua batang hio adalah lambang penghormatan kepada arwah orang yang meninggal/Im – Yang/laki – laki & perempuan, karena kita berasal dari ayah dan ibu. Pada foto terlihat seorang laki – laki yang membawa tongkat di sisi pundak kiri nya, hal ini menunjukan tanggung jawab dan rasa baktinya kepada orang yang meninggal (ayahnya), tongkat ini pun terbuat dari bambu (apabila yang meninggal laki – laki). Bambu beruas – ruas yang melambangkan kasih sayang seorang ayah yang terputus – putus, sedangkan bila perempuan digunakan kayu yang tidak beruas (melambangkan kasih sayang yang sepanjang masa).
Di depan peti mati biasanya diletakkan meja sembahyang yang terdiri dari foto yang meninggal, hio low, arak, semangka, jeruk bali, kue – kue dan hiasan lainnya dimana masing – masing memiliki arti tersendiri. Hal ini menunjukkan rasa bakti pihak keluarga dan sebagai penghormatan kepada yang meninggal dunia.

Yoretta Yang Wahyudi
915070037
Fakultas Ilmu Komunikasi
Kelas C

1 komentar:

Unknown mengatakan...

artikel mayan menarik..hohoho..
di jakarta kek na ga pernah liat deh.. kalo di daerah masih sering. tapi sekrang jarang banged yang ampe taonan.. paling 100hari doang