CLICK HERE FOR BLOGGER TEMPLATES AND MYSPACE LAYOUTS »

Senin, 24 November 2008

NILAI, SELF, N BELIEVE...

A. NILAI
Nilai merupakan sesuatu yang abstrak sehingga sulit untuk dirumuskan ke dalam suatu pengertian yang memuaskan. Beberapa ahli merumuskan pengertian nilai dari beberapa perspektif yakni perspektif antropologis, filsafat dan psikologis. Secara antropologis Kluckhon (1962) mengemukakan nilai merupakan suatu konsepsi yang secara eksplisit dapat membedakan individu atau kelompok, karena memberi ciri khas baik individu maupun kelompok. Secara filosofis, Spranger (1928) menyamakan nilai dengan perhatian hidup yang erat kaitannya dengan kebudayaan karena kebudayaan dipandang sebagai sistem nilai, kebudayaan merupakan kumpulan nilai yang tersusun menurut struktur tertentu. Nilai hidup adalah salah satu penentu kepribadian, karena merupakan sesuatu yang menjadi tujuan atau cita-cita yang berusaha diwujudkan, dihayati, dan didukung individu. Menurut Spranger corak sikap hidup seseorang ditentukan oleh nilai hidup yang dominan, yaitu nilai hidup yang dianggap individu sebagai nilai tertinggi atau nilai hidup yang paling bernilai.
Orang akan memandang segala sesuatu dengan kacamata nilai hidup yang dihargainya paling tinggi atau dominan itu sehingga nilai hidup yang lain yang berasal dari pengertian kebudayaan secara luas, akan diwarnai juga oleh nilai hidup yang dominan itu. Spranger menggolongkan adanya enam lapangan nilai, yaitu :
1. Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai individu, meliputi lapangan pengetahuan, lapangan ekonomi, lapangan kesenian, dan lapangan keagamaan.
2. Lapangan nilai yang bersangkutan dengan manusia sebagai anggota masyarakat, yaitu : lapangan kemasyarakatan, dan lapangan politik. Pengertian nilai dari persepektif psikologis dikemukakan Munn (1962) bahwa nilai merupakan aspek kepribadian, sesuatu yang dipandang baik, berguna atau penting dan diberi bobot tertinggi oleh seseorang.
Dari uraian di atas maka nilai dapat diartikan sebagai sesuatu yang dianggap baik, berguna atau penting, dan diberi bobot tertinggi oleh individu atau kelompok dan menjadi referensi dalam bersikap serta berperilaku dalam hidupnya.
Setelah mengetahui definisi dari nilai, nilai yang saya miliki atau hal – hal yang saya anggap baik dan benar adalah kejujuran, saya sangat tidak suka jika ada yang berbohong pada saya, apalagi bila baru kenal. Saya menganggap kejujuran adalah nomor satu, sehingga saya tidak dapat memaafkan orang yang membohongi saya. Selain itu saya juga sangat tidak suka dikhianati. Dalam hidup saya, sudah seringkali saya dikhianati baik itu oleh teman dekat saya maupun oleh orang yang pernah sangat saya sayangi. Saya merasa dibohongi dan dikhianati oleh dirinya selama 4 bulan, dan itu membuat luka di hati saya. Akhirnya sakit hati saya membuat rasa sayang itu berubah menjadi benci. Begitulah saya, jika sudah dikhianati melewati batas toleransi saya, perasaan saya dapat berubah 180°. Namun seiring dengan berjalannya waktu, saya tidak mau memendam rasa benci dalam hati saya, sehingga saya sudah merelakan mengikhlaskan semuanya.
Selain kejujuran, kesetiaan, kerja keras dan semangat merupakan nilai yang penting dalam hidup saya.

B. KEPERCAYAAN (BELIEF)
Memilih karier dan profesi untuk ditekuni memerlukan suatu belief bahwa pilihan itu memberikan harapan ke arah peningkatan kualitas hidup di masa depan. Sama halnya ketika seorang lulusan sekolah menengah memilih fakultas tertentu untuk melanjutkan studinya di universitas. Belief seseorang itu mengarahkan sikap dan kemudian perilakunya terhadap hal atau objek tertentu.
Semua orang, sadar ataupun tidak, memilih karier dan profesi atas dasar belief yang dianutnya. Profesi-profesi favorit di masa lalu ––dokter, insinyur, akuntan, atau lainnya–– diyakini banyak orang akan mampu membuat mereka sejahtera lahir dan batin. Sebaliknya, sebagian pilihan lain seperti wirausaha, wiraniaga, penulis, dan seniman, dianggap kurang dapat diandalkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Semua itu karena belief yang dimilikinya.
Kata “belief” dalam kamus Echols dan Sadhily diterjemahkan sebagai kepercayaan atau keyakinan. Umumnya hal ini dikaitkan dengan agama (believer), tetapi tidak cuma itu. Sementara Anthony Robbins, dalam bukunya Unlimited Power, menjelaskan bahwa, “Belief is nothing but a state, an intenal representation that governs behaviors.” Ia dapat bersifat memberdayakan (empowering belief), tapi juga dapat ‘memperlemah’ (disempowering belief). Dan, seorang bernama Robert Danton Jr, pernah menegaskan bahwa, “Sebuah keyakinan adalah apa yang secara personal kita ketahui atau kita anggap benar, sekalipun orang lain tidak menyetujuinya.” Hal terakhir ini menunjukkan sifat subjektif dari belief seseorang.
Dalam kaitannya dengan pilihan karier dan profesi, sebuah keyakinan dapat bersifat memberdayakan bila ia menuntun kita untuk melihat kemungkinan (possibility) untuk dapat berhasil atau mencapai tujuan tertentu. Sebaliknya, ia juga dapat ‘memperlemah’ jika kita tidak yakin terhadap kemungkinan bahwa karier dan profesi yang sedang kita tekuni akan membuka peluang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. Artinya, bila kita yakin bahwa kita tidak akan bisa berhasil, maka disempowering belief ini membuat kita enggan berusaha lebih serius atau bekerja lebih keras. Sebaliknya, jika kita yakin bahwa keberhasilan bisa dicapai lewat karier dan profesi yang kita tekuni, maka empowering belief ini akan menjadi semacam sumber energi luar biasa yang membuat kita mampu bertekun dan bekerja keras untuk mencapai apapun tujuan yang telah kita tetapkan dalam hati.
Darimana sebuah keyakinan muncul? Robbins menyebutkan lima sumber, yakni: lingkungan sekitar (environment), peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita (events), pengetahuan (knowledge), hasil-hasil masa lalu (our past results), dan creating in your mind of the experience you desire in the future as if it were here now (semacam ‘visi” –pen).
Dalam pengertian di atas, sebuah belief ikut membentuk sikap atau attitude, yakni suatu pola berpikir (kognitif) dan pola berperasaan (afektif) yang kemudian dinyatakan dalam perilaku tertentu (behavior). Dan dalam arti yang dijelaskan Robbins bahwa belief memiliki kesamaan pengertian dengan apa yang disebut Stephen Covey, pengarang The 7 Habits of Highly Effective People, sebagai paradigma atau peta mental.
Baik Robbins maupun Covey sepakat bahwa belief atau paradigma yang kita anut/miliki, dapat kita ubah, kita geser, atau kita perbaiki agar lebih berkesesuaian dengan fakta kehidupan (‘kebenaran’). Akan tetapi hal itu tidaklah mudah dilakukan. Kebanyakan kita enggan atau bahkan takut menerobos batas-batas keyakinan yang kita miliki, apalagi bila keyakinan itu juga dianut oleh sebagian besar orang di lingkungan kita (keluarga, sekolah, masyarakat, dsb).[aha]
Dikutip dari Andrias Harifa
• Andrias Harefa adalah seorang writer, trainer, speaker, inisiator Pembelajar.com, serta penulis 30 buku laris. Ia dapat dihubungi di: aharefa@cbn.net.id.
Berdasarkan kutipan dan penjelasan mengenai belief di atas, keyakinan yang saya miliki, jika berhubungan dengan agama saya, agama Buddha, bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan pasti akan memberikan hasilnya pada diri kita sendiri, kitalah yang akan menanggung semua akibat perbuatan kita. Jika kita mengalami masalah itu karena akibat perbuatan buruk kita di masa lampau. Nasib bisa kita ubah, semuanya tergantung dari perbuatan kita sendiri (karma). Tentu saja, keyakinan saya adalah kepada Sang Buddha.
Adapun keyakinan saya (hampir sama dengan prinsip) yang lain adalah
- jika kita terus menerus berusaha pastinya akan mendapatkan hasil yang maksimal.
- Hidup itu terlalu singkat untuk dilewati dengan hal – hal yang tidak berguna dan bersedih hati. Isilah harimu dengan berbagai kegiatan positif dan menyenangkan karena hidup itu hanya sekali.
- Tidak ada seorang pun yang dapat saya percaya kecuali diri saya sendiri.
- Hidup itu pilihan, jika kita salah memilih maka hadapilah dengan senyuman dan nikmatilah hidup, jangan dibuat stress. ”Enjoy aja!”
- Salah itu wajar, namanya juga proses pembelajaran. Dalam hidup ini selalu belajar, belajar, dan belajar.
- Jika saya mau, saya bisa mendapatkan apapun yang saya inginkan!
- Hidup ini terdiri dari suka dan duka yang saling berganti, tetapi lebih banyak dukanya.
- Saya harus menjadi yang No. 1, pertama, dan satu –satunya.
C. SELF IDENTITY
Self-concept or self identity refers to the global understanding a sentient being has of him or herself. It presupposes but can be distinguished from self-consciousness, which is simply an awareness of one's self. It is also more general than self-esteem, which is the purely evaluative element of the self-concept.
The self-concept is composed of relatively permanent self-assessments, such as personality attributes, knowledge of one's skills and abilities, one's occupation and hobbies, and awareness of one's physical attributes. For example, the statement, "I am lazy" is a self-assessment that contributes to the self-concept. In contrast, the statement "I am tired" would not normally be considered part of someone's self-concept, since being tired is a temporary state. Nevertheless, a person's self-concept may change with time, possibly going through turbulent periods of identity crisis and reassessment.
The self-concept is not restricted to the present. It includes past selves and future selves. Future selves or "possible selves" represent individuals' ideas of what they might become, what they would like to become, and what they are afraid of becoming. They correspond to hopes, fears, standards, goals, and threats. Possible selves may function as incentives for future behavior and they also provide an evaluative and interpretive context for the current view of self.
Saat kita berada dalam suatu komunitas, kita mengidentifikasikan diri sebagai anggota komunitas tersebut. Kita berpikir, berucap dan berprilaku sedekat mungkin dengan 'kebiasaan' yang dianut oleh komunitas tersebut. Hingga suatu tahap adaptasi tertentu, kitapun seakan telah menjadi anak adopsi dari komunitas itu. Suatu ketika kita telah menghablur dalam komunitas itu. Diri kita seakan tak terpisahkan lagi dari padanya. Apakah sesungguhnya kita telah sedemikian menyatunya dengan komunitas tersebut ? Dan apakah kita telah kehilangan/meletakkan sama sekali diri kita sebagai suatu individu mandiri ?
Sebetulnya tidak; kita masih merupakan individu mandiri diantara anggota komunitas lainnya. Bedanya dengan mereka yang tak menjadi anggota komunitas hanyalah pada 'identifikasi diri'. "Anggota milis A", itulah salah satu bentuk identifikasi diri tersebut. Sejalan dengan itu, pihak lainpun memandang kita sebagai Si Anu -- anggota milis A. Demikian juga halnya dengan keanggotaan kita pada komunitas lain -- apapun bentuk komunitas tersebut -- ia melahirkan 'identitas' khusus bagi kita.
Nama; inilah identitas hakiki kita. Nama mencirikan kita diantara manusia lain di muka bumi ini. Seseorang ber-nama, nama yang membedakannya dengan makhluk lain, lengkap dengan 'citra-diri'-nya. Manakala jasmaninya hancurpun 'nama'-nya tetap menghuni ingatan kita; ingatan mana adalah kumpulan berbagai kesan kita terhadapnya. Kesan-kesan tersebut berasal dari 'citra-diri'-nya yang tercerap saat kita mengadakan kontak dengannya ketika ia masih berjasmani. Kita akan mengalami kesulitan besar bilamana kita mesti mengidentifikasikan sesorang ataupun sesuatu, yang sama sekali tak pernah mengadakan 'kontak' dengan kita. Kontak di sini mempunyai makna amat essensial dalam membentuk kesan batin; untuk selanjutnya kita rangkai menjadi citra tentang seseorang atau sesuatu tersebut bukan ?
Jadi, sesungguhnya identitas seseorang atau sesuatu hanyalah identifikasi kita tentang seseorang atau sesuatu tersebut. Sekali lagi mesti saya katakan bahwa itu bukanlah seperti apa identifikasi kita tentangnya; ia tetap seperti 'apa adanya', betapapun kita mengidentifikasikannya atau dengan kata lain, betapapun kita me-NAMA-inya.
Identitas diri saya:
Nama : Yoretta Yang Wahyudi
Jenis kelamin : perempuan
Tempat tanggal lahir : Tangerang, 12 Juni 1989
Status : Mahasiswi Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara
Warga negara : Indonesia

Identitas diri saya antara lain sebagai seorang anak perempuan, seorang kakak, seorang anak sulung, seorang mahasiswi, seorang warga negara Indonesia, seorang umat buddha, dan yang pastinya seorang manusia.


DAFTAR PUSTAKA

http://www.depsos.go.id/Balatbang/Puslitbang%20UKS/2004/Syafriman1.htm

http://www.pembelajar.com/wmview.php?ArtID=1223

http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/487.htm

http://en.wikipedia.org/wiki/Self-concept



BY : Yoretta Yang Wahyudi

0 komentar: